Rabu

Tangisan Bidadari


Setiap musim hujan tiba, aku merasa terlempar ke masa dimana aku masih menjadi seorang gadis kecil yang belum tahu akan dunia. Setiap tetes air hujan yang jatuh dari langit, bagiku bagaikan air mata bidadari yang sedang menangis.
Dan kenyataannya, memang itulah yang selalu dikatakan ibu tiap kali kau bertanya dari mana tetes-tetes air hujan itu berasal. Lalu bayangan bidadari yang sedang menangis itu langsung tergambar dibenakku. Bidadari cantik berwajah murung dengan air mata yang menetes dipipinya yang halus.
Ingatanku pun kembali singgah pada kisah yang terjadi di sore itu. Ketika Ayah baru saja pulang dari kantor dan bilang pada ibu bahwa besok Ia akan pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan dan akan pergi selama beberapa hari. Tentu saja sebagai istri yang baik, ibu langsung menyiapkan barang-barang yang akan dibawa ayah. Ibu menyiapkan semuanya dengan tulus. Tanpa Ia tahu apa yanag akan terjadi.
Keesokannya ketika ayah akan bearangkat, ibu mengantar ayah kedepan pintu seperti kebiasannya selama ini setiap ayah akan pergi kekantor. Dan itulah awal dari semuanya ini.
Sejak hari itu ayah tidak pernah pulang lagi, ibu kebingungan mencari ayah. Menurut informasi dari kantor bahwa tidak pernah menyuruh ayah untuk tugas keluar kota. Mereka hanya tahu bahwa ayah kami mengundurkan diri dari kantor dan pindah keluar kota.
Ibu menjadi tidak mengerti kenapa ayah melakukan ini? Hari-hari yang baisnaya cerah telah berubaha menjadi kelabu, tak ubahnya musim hujan yang sedang menaungi bumi. Setiap hari ibu mencari kesana-kemari mencari keberadaan ayah tapi tidak ada yang tahu hingga ibu sedikit lupa memperhatikan aku.
Sampai disuatu hari ibu berkata kepadaku. “Ayu, mulai saat ini kita hidup berdua saja,” kata Ibu. “Ayah kemana,” tanyaku tak mengeri. “Ayah telah pergi, kalau kau sudah besar nanti ibu akan menceritakannya dan kau akan mengerti nak,” kata ibu lagi. Akupun tidak bertanya apa-apa lagi. Sejak itu kami memang tinggal berdua dirumah itu, kami hidup dari uang hasil ibu sebagai penjahit dan sering sekali kupergoki ibu sedang menangis. Bila aku bertanya, selalu ada saja alasan yang dikatakannya. Tapi aku tahu, ibu masih memikirkan ayah.
Rasanya benci sekali aku pada ayah. Kenapa ayah meninggalkan kami dan membuat bulir-bulir air mata ibu terus menetes dipipinya. Aku tidak ingin bertemu dengan ayah lagi untuk selamamya.
Bagiku ayah sudah benar-benar mati. Terlebih pada suatu hari kami mendapat kabar tentang ayah. Rupanya salah satu tetangga kami pernah bertemu ayah ketika ia sedang mengunjungi kerabatnya di luar kota. Di kota itu ia bertemu dengan ayah yang ternyata sudah menikah lagi dengan seorang wanita dan mempunyai anak. Kulihat ibu kembali terpukul dengan berita itu. Sungguh malang nasib ibuku. Dan nasibku juga pastinya.
Tapi di balik semua kesedihan itu, masih ada sedikit kebahagiaan yang menghampiri kami. Walaupun kehidupan ekonomi kami pas-pasan, tapi aku bisa sekolah tinggi hingga ke perguruan tinggi. Hingga pada akhrinya aku dapat bekerja di sebuah perusahaan bonafit dengan posisi yang membanggakan.
Akupun pun dipertemukan dengan sorang pria yang sangat baik hati yang kemudian menjadi suamiku. Dari perkawinan itu kami dianugerahi seorang putri yang cantik. “Lupakan ayah, ibu…hanya ini yang bisa kuberikan padamu,” gumamku pada suatu senja yang ditemani rintik-rintik hujan. Kini hidup kami sungguh-sungguh bahagia tanpa sedikitpun terpikir unruk kehadiran seorang ayah di sekitar kami.


Tidak ada komentar: